Berlindung di Balik Badannya yang Kekar - infpage

Berlindung di Balik Badannya yang Kekar

Pagi itu aku yang masih setengah sadar berjalan tergopoh menuju kamar mandi. Udara dingin pagi itu benar-benar menusuk sampai ke tulang, namun sangat segar sampai dikerongkongan. Jam dinding kamarku telah menunjukkan angka 4, dan aku harus bangun, segera bersiap untuk mandi. Saat itu aku merasa malas untuk mengayunkan langkah, entah mengapa berat saja kaki ini untuk menggotong raga yang halus ini.

Terdengar suara, "Nur mau mandi?" Sapa ayahku yang sepertinya juga telah terbangun sedari tadi. Terlihat dari kain sarung yang telah ia gunakan dengan rapi.

"Ehm, iya, Yah." Jawabku lesu.

Aku harus sesigap mungkin untuk bersiap-siap karena aku akan mengantarkan ayahku yang akan pergi untuk bekerja di negeri seberang sana. Perasaanku saat ini campur aduk seperti permen nano-nano yang macam-macam rasanya. Senang, telah melihat ayahku yang pulang dari tempatnya mencari rezeki walaupun hanya 2 hari saja di rumah, iya, 2 hari. Waktu yang sangat sangat singkat kurasa! Sedih, sebentar lagi aku tak melihat lagi ketawa khas ayahku dengan gigi putih terbaris rapinya, selama masa yang belum pasti. Ayah belum bisa memastikan kapan ia akan kembali untuk mengunjungi aku dan Dyan, adikku.

Tak seperti biasanya, dari waktu mandiku yang hanya 5 menit berubah menjadi 15 menit lamanya. Sengaja untuk berlama-lama agar tak jadi pergi, bathinku.

Terdengar suara, "Nuuuur, sudah mandinya?" Ayahku mulai menegur dengan nada ramah.

Ayahku adalah seorang yang humoris, karismatik, ceria dan penyabar. Setelah berbagai masalah yang ia hadapi, tak pernah sekalipun aku melihatnya murung. Ayahku adalah seorang yang selalu menunjukkan ketegasan dalam kelembutan, mengajarkan bagaimana menjadi wanita yang tangguh dan tidak cengeng. Bagiku, ia lebih dari segalanya. Ia adalah nikmat Allah yang dititipkan kepadaku. Walaupun terkadang sedikit menjengkelkan, itu tak lekang membuat aku membencinya.

Jam dinding terasa kembali menegurku. Ia telah menunjukkan angka 04.30. Waktunya aku dan ayah harus sesegera mungkin pergi ke bandara. Tak dapat berlama-lama, pun tak dapat pula berbasa-basi dengan minuman yang telah dibuat ayah. Padahal aku sangat ingin sekali menikmati minuman itu, teh hangat yang ayah seduh dengan cinta. Aku hanya meminum beberapa seruput dan kemudian bergegas keluar.

"Nur, udah jam setengah 5 lewat. Pergi kita lagi ya, Nak." Ujarnya melihatku menyeruput minuman hangat itu.

Sepertinya ia juga tak sanggup melihatku yang bermalas-malasan ini. Terlihat juga dari raut wajahnya, betapa ia tak ingin meninggalkan anak kesayangannya. Namun apa mau dikata, tak ada yang bisa menahan kepergian ayah untuk bertugas. Kecuali Allah berkata lain. Dan saat ini, Allah berkata bahwa ayah harus segera pergi ke tempat nun jauh di mataku.

Setelah meminum air buatannya, aku beringsut keluar pintu rumah untuk menunggunya memasang sepatu. Kuperhatikan wajahnya yang legam dan mulai mengeriput, terasa sesak dan ingin menitikan air mata melihat sendu wajahnya. Namun, badannya yang kekar membuatku bangun dari hampir terpuruknya perasaan ini.

"Ayok, pergi." Ujarnya sembari berdiri keluar. Kulihat cara berdiri ayah saja sudah perkasa, apalagi jiwanya.

            Ayah segera menghidupkan motor. Hanya sebentar untuk ‘memasak’ mesin sepeda motor itu. Ia sepertinya tak ingin terlambat sampai di bandara.

Di perjalanan, angin pukul 5 menusuk masuk ke dalam persendianku. Terasa bagaikan di atas puncak gunung. Sedikit lebay, namun benar. Dinginnya sungguh menusuk, dingin sekali. Tapi, aku lupa. Aku lupa, yang mengendarai sepeda motor adalah ayahku. Aku lupa, ia yang berada di depanku lah yang lebih merasakan ‘sakitnya’ melawan arus angin pukul 5 ini. Bergulat dengan dingin yang aku rasa sangat menyengat. Sementara, aku disini, di belakangnya, berlindung di balik badannya yang kekar. Dengan begitu saja, aku masih merasa kedinginan, bagaimana dengannya. Namun, tak sedikitpun kegelisahan tergambar dari cara duduknya. Ia dengan tenang mengendarai sepeda motor itu. Ah, aku ini, terlalu banyak mengeluh!


"Nur sampai sini aja ya temani ayah, ayah buru-buru nanti Nur kesusahan. Ya dah sampai sini aja ya." Ucapnya setelah memarkirkan motor.

Aroma embun pagi masih terasa jernih di paru-paruku. Kuraih tangan ayahku. Terasa sesak saat itu, ingin menangis. Namun, sudahlah.

"Ya udah, ayah pigi dulu ya. Hati-hati nanti kalau Nur pulang. Tunggu agak terang aja langitnya baru Nur pulang ya." Katanya sembari mengangkat tas ransel besarnya. Walaupun ayah adalah seorang laki-laki dan itu identik dengan kekuatan serta otot-otot yang membulat atau mengotak, aku tak tega melihatnya membawa beban berat seperti itu. Aku kembali terenyuh, pikiranku campur aduk.

"Aduuuuh, rasanya cepat banget ayah pulang." Bathinku.

"Ayah hati-hati di jalan ya. Kalau udah sampai jangan lupa hubungi Nur. Oke, Yah." Ujarku sedikit berteriak karena ayah sudah sedikit berjarak dariku.

Dengan gigi putihnya yang rapi sambil tertawa dan senyum simpul ia membalas, "Oke, Putri Kecilku."

:')


...


Cerita singkat di atas membuatku belajar. Dari apa yang aku rasa saat di atas motor bersama ayahku. Aku berlindung di balik badannya yang kekar. Iya, selama ini aku selalu bergantung padanya. Ia, Ayahku, yang dititipkan Allah untukku, sampai saat ini masih bersamaku. Masih selalu setia menjaga dan mengawasiku dari jarak jauh. Masih selalu memanggilku Putri Kecilnya. Maafkan aku ayah, yang masih belum bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Aku masih merangkak dan belajar untuk berdiri. Terimakasih untuk selalu menganggap aku Putri Kecilmu, Ayah.


I love you more :')

No comments:

Bila ada komentar, kritik atau saran silakan ditulis disini ya. Terimakasih.

Wira Puspa Nuansa

#nursahab