Pandanganku kosong. Kekosongan ini didukung oleh lampu travel yang remang, malah tak berlampu sama sekali. Terdengar lagu nyinden dari mobil yang dikemudikan sopir bersuku Jawa. Aku duduk, sesekali merebahkan sedikit tubuhku ke kursi. Fikiranku melayang, jauh entah kemana. Sesekali aku dengar lagu dangdut dari mobil ini. Aku hening, diam, tak bersuara. Tak tau apa yang akan aku lakukan. Mau mengotak-atik handphone pun aku tak bisa, kepalaku pusing jika sedikit saja melihat layar ponsel. Alhasil, aku hanya diam dan melihat ke arah depan. Kami masih di kawasan kota, kota Balikapapan. Aku tak begitu mengenal kota ini, karena hanya sesekali ketika kecil aku dibawa oleh orang tuaku berwisata disini. Ingatanku tentang kota ini tidak banyak, hanya sejumput. Aku ingat ketika dibawa ke arena bermain sepertu Dufan, bermain kapal-kapalan disana. Aku tak ingat lagi nama kawasan itu. Yang aku ingat hanya kesenangan belaka. Indahnya bermain dan menikmati seluruh permainan yang ada. Ah, indahnya masa kecil itu.
Aku masih diam. Mematung dan duduk tenang namun sesungguhnya hatiku berkecamuk. Belum ada tetesan air mata sedari aku berangkat dari Padang. Aku berusaha tegar (lebih tepatnya sok tegar) dan tak ingin ada air mata. Aku pasang mindset bahwa aku adalah wanita tegar yang tak akan menangisi ini. Menangisi kepergianku sendiri. Karena aku berfikir, bahwa jika aku saja menangis, bagaimana orang-orang yang aku tinggalkan, pasti mereka akan ikut sendu sesak (iya mungkin, hanya fikiranku saja haha). "Aku tak akan menangis." bathinku. "Aku kuat." ucapku dalam hati. "Aku wanita mandiri." jeritku dalam hati. Tapi, aku tak tahu tiba-tiba air mata ini mengalir deras, ia tak terbendung lagi. Air mataku benar-benar menumpahkan segala yang telah lama disimpan. Ia tumpah seketika saat aku ingat Mama. Aku ingat, bahwa malam-malam sebelumnya aku tidur di samping mama, aku bersama mama dan aku masih bisa melihat wajah mama. Tapi mulai malam ini, aku sendiri. Aku tak lagi tidur di samping mama, aku tak lagi melihat tidur mama yang terkadang membuatku tertawa, aku tak lagi bisa. Buncahlah air mata. Seketika kacamataku berembun, pekat dan dibasahi air mata. Sekitar 15 menit aku menangis. Aku termasuk orang yang jago dalam menyimpan tangis. Betapa tidak, terbukti abang sopir di sebelahku tidak mendengar tangisanku. Bersyukurlah aku bisa berlama-lama mengucur tangis.
Setelah merasa lelah menangis, aku buka kacamataku, kuusapkan ia dengan jilbabku. Aku masih merasa sesegukkan karena tangisku tadi. Tak apa, tak apa aku menangis, karena dengan tangis itu, perasaanku bisa sedikit tenang.
Pukul 10 malam.
Mobil travelku melaju kencang. Keluar dari kota Balikpapan yang ramai khas hiruk pikuk perkotaan di malam hari. Lampu-lampu jalan membuat cantik tengah perkotaan. Dan saat ini kami sedang melaju keluar dari indahnya malam di kota itu menuju jalan raya Balikpapan-Samarinda yang hutan lebih mendominasi dan jarang ada rumah penduduk. Namun, aku sangat menikmati perjalanan ini. Perjalanan yang sebenarnya membuat lelah, tapi mengayikkan. Lambat laun, gelap dan pekatnya malam mengantarkan aku terlelap.
😊
ReplyDelete