Matahari
sudah mulai terlihat indah. Warna oranye-nya merekah menyemburatkan cahaya senja. Burung-burung dengan riangnya terbang berkawan-kawanan kembali ke tempat mereka akan memberi makan dan membuat anak-anak mereka berdecit riang. Semilir angin sore dan suara mengaji anak-anak di surau membuat hati terenyuh. Damai. Walaupun sesaat, aku sangat menikmati indahnya senja sore ini. Aku dan Ratih masih
disini. Terjebak dalam perbincangan yang semestinya tak terjadi. Kembali aku
bersuara.
“Ratih,
dengarkan aku. Kita sudah berteman sejak lama, sejak aku mengenalmu, aku
menganggap kamu adikku. Walaupun aku menjaga jarak denganmu, tapi aku sudah
menganggap kamu seperti adikku sendiri, Ratih. Ceria dan riangnya kamu mengingatkan aku pada adikku, Aisyah. Dia mirip sekali denganmu, Ratih. Itulah sebabnya aku
tak menerima perasaanmu.”
“Kamu
bohong, Rama. Itu bukan alasanmu yang sesungguhnya. Aku tau kamu, Rama, aku tau. Kalau kamu
menganggap aku sebagai adikmu, kamu pasti mau memelukku dan menyentuhku.”
Glek. Ya
Allah, semurah itukah tubuhmu, Ratih. Kau rela untuk aku pegang, padahal aku
bukan siapa-siapamu. Aku terkejut mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya.
Namun aku paham bahwa ia belum paham.
“Ratih,
apakah kamu suka untuk dipegang seperti itu?”
“Apa
salahnya, Rama? Kita kan nggak melakukan apa-apa.” Jawabnya.
Aku
kasihan padanya, terlebih mendengar kata-katanya yang benar-benar polos. Aku tak tau, apakah ia memang sepolos ini ataukah sudah beribu-ribu lelaki menyentuhnya. Tapi inilah yang harus aku katakan padanya. Aku ingin meluruskan pemahamannya, bukan untuk mengguruinya.
“Kamu
tau tidak, Rat? Kamu itu berharga. Kamu itu ibarat kue di dalam etalase. Kue
yang terbungkus rapi dan tempatnya berada di dalam kaca etalase toko, siapapun
yang ingin memakanmu, ia harus membayar terlebih dulu, kan? Beda sama kue yang dijajakan di pinggiran, ia terbuka, lalat suka mendekatinya, dan orang-orang yang belum tentu berniat membelinya sudah puas memegang-megang kue itu. Nah, aku menganggapmu
seperti itu, Ratih. Aku menganggapmu kue yang ada di etalase tadi. Berharga dan tak mudah aku untuk mendapatkannya. Dengan kata lain, aku harus berhadapan dulu dengan orang tuamu, terlebih kepada ayahmu, dan kemudian menghalalkanmu. Disaat itu baru aku bisa menyentuhmu. Jadi, tak semudah itu, Ratih.”
Ia
terdiam, aku tak tahu apa yang ia pikirkan saat ini. Terdengar suara mengaji anak-anak tadi berganti dengan kumandang adzan. Memanggilku dan gadis berambut pirang ini untuk segera bersujud padanya, memohon
ampun atas apa yang terjadi hari ini.
“Udah
adzan, aku mau sholat maghrib dulu, Rat. Kamu mau ikut?” Ajakku.
Aku
tak pernah melihatnya sholat, sekalipun. Tapi kini, kali ini, dan sore ini, ia
mengiyakan ajakanku. Dengan wajah sedikit melesu, ia membuntutiku dari belakang. Dalam hati aku bersyukur,
sedikit terbuka pintu hatinya untuk kembali bersujud pada-Nya. Seburuk apapun
seseorang, ia pasti memiliki hati yang rapuh dan ketika cahaya Allah itu telah
masuk, dari 'setan' nya seseorang akan berubah menjadi hati malaikat. Itulah
hidayah. Allah yang memiliki. Sekali Ia berkehendak, siapapun bisa. Dan
sore ini, aku menyaksikan cahaya itu. Perlahan masuk. Aku berdoa, semoga hal
ini akan membuatnya menjadi wanita yang lebih baik lagi.
Setelah
sholat, Ratih menghampiriku, matanya sembab. Lebih sembab dari yang tadi. Dengan lirih ia berkata,
“Rama,
maukah kamu menikahiku?”
(Bersambung)
No comments:
Bila ada komentar, kritik atau saran silakan ditulis disini ya. Terimakasih.