Kamar
kos petak kecil segi empat tak bersekat. Tak ada ruang makan, kamar mandi
atau dapur. Hanya ada satu ruangan saja dimana semua alat-alatku berada disitu,
benar-benar untuk tempat tidur dan ‘ruang kerja’ ku saja. Kamar kos yang super-duper
murah bahkan hampir gratis ini aku dapat dari temanku yang peduli dengan
hidupku yang sepertinya luntang-lanting mencari tempat tinggal pada saat itu.
Sebelum tinggal di dalam kamar kos petak kecil ini, aku pernah menjadi seorang garim
atau penjaga mesjid di simpang kampusku. Namun, ketika sudah di penghujung
semester ini, aku memutuskan hengkang dari sana karena merasa banyak
pekerjaanku di mesjid itu yang terbengkalai. Aku selalu pergi sebelum subuh dan
pulang pun sudah sangat larut. Tak ada pekerjaan yang dapat aku lakukan ketika
sudah tergeletak keletihan di dalam kamar mesjid. Aku memohon kepada Allah
semoga keputusanku ini tak salah karena aku meninggalkan rumah Allah, dimana
tempat ratusan umat muslim bersujud pada-Nya. Mesjid dengan corak unik ala-ala vintage dengan tonggak-tonggak tegak
gagah perkasa menopang nya. Ah, sayang rasanya. Namun, inilah keputusanku.
Jarum
jam dinding yang ada di kamar setia menungguku terlelap. Ia telah menunjuk pada
angka 12.05. Larut memang, dan mataku masih senang ‘terbelalak’ ke atas
langit-langit bilik. Sesungguhnya aku sudah letih, lelah karena seharian aku ‘ber-patroli’
mengais ilmu dan rezeki untuk aku benar-benar bertahan hidup. Pagi hari aku
kuliah hingga pukul 1 siang. Setelah kuliah berakhir, akupun harus segera
menuju tempat ‘penggorengan’ mbak Ajeng tempat dimana aku mengais rezeki.
Biasanya, setiap kuliah berakhir aku menjajakan gorengan. Aku mengambil sekitar
200 buah gorengan untuk aku jual keliling ataupun mangkal di sekitar keramaian.
Lumayanlah, hasilnya bisa buat beli sambal untuk aku makan siang. Untuk makan
malamku, aku tutupi dengan menjadi loper koran. Tak seberapa, dan terkadang aku
mengabaikan pekerjaan itu karena waktu. Ya, makan malam pun kadang terlewatkan.
Biasanya ketika aku tak makan malam, aku mengganjal perutku dengan roti harga
seribuan ditemani secangkir kopi. Murah, dan mengenyangkan. Walau terkadang
tengah malam perutku mulai mengumandangkan suara yang tak mengenak kan. Ia begitu
berisik mengalahkan detak jam dinding kamarku. Ah, bagiku itu sudah biasa.
Kembali
lagi aku menoleh pada arah jam dinding. Pandanganku kosong. Aku kembali
teringat pada Wisnu yang menemuiku di perpustakaan siang tadi. Sekitar satu jam
kami bertemu. Kedatangannya membuat aku harus merelakan waktuku untuk mengambil
gorengan ke tempat mbak Ajeng.
“Ram...”
Ia menghampiri tempat dudukku.
“Ada
apa, Nu?
“Gua
mau ngomong sama elu, Ram.” Jawabnya.
“Ngomong
apa?” Aku penasaran melihat wajahnya yang benar-benar serius tatkala berbicara
padaku.
“Mending
kita keluar deh. Nggak enak ngobrol disini.”
Pria
berkulit putih berwajah tampan dengan brewok tipis yang membuatnya menjadi
seorang lelaki primadona di kampus ini mengajakku keluar perpustakaan.
Sebenarnya aku tak berselera berbicara dengannya. Bukan karena aku tak suka
padanya. Ini hanya karena aku harus pergi ke tempat mbak Ajeng untuk mengambil
gorengan. Ia memaksaku untuk membuntutinya, dan ia pun ‘menyeretku’ ke cafe
tempat biasa ia nongki-nongki dengan Ratih dan teman-temannya.
“Ram...”
Kali ini wajahnya sedikit memerah dengan suara sedikit meninggi.
Ia
melanjutkan perkataannya.
“Kok
elu tega banget sih sama Ratih. Sok jual mahal banget lu gua liat.” Wajahnya
sedikit mendekat ke arah wajahku. Hanya beberapa detik ia mendongak kan
wajahnya padaku, setelah itu ia beringsut ke tempat duduknya. Duduknya
sangat-sangat belagak, angkuh, seperti duduknya pejabat-pejabat antagonis kalau
di senetron-sinetron.
Aku
yang bingung hanya bertanya, “Maksud kamu apa, Nu? Aku nggak ngerti?”
“Gua
udah tau gimana lu sama Ratih. Gua juga udah lama tau tentang perasaan Ratih
sama lu. Tega lu buat dia nangis, Ram? Elu tau nggak, tu anak hampir mati,
hah?”
Pria
yang memiliki tinggi 175 cm ini berkata bahwa Ratih hampir saja bunuh diri
karena ulahku.
Glek, aku
menelan ludah yang rasanya membanjiri seluruh tenggorokanku sedari tadi.
Terkejut. Benarkah apa yang dikatakannya? Aku membathin, astaghfirullah.
Beberapa
saat pandanganku kosong. Aku terdiam. Rasa tak percaya menyerangku. Aku
berfikir, apakah aku salah pada gadis itu. Apakah aku benar-benar telah hampir
membunuh seorang gadis hanya karena hati?
“Woy!”
Hardik Wisnu membuyarkan lamunanku. Hardikannya sedikit keras sampai membuat pengunjung
cafe lain menoleh ke arah kami. Tak puas sampai disitu, ia berkata padaku,
“Heh,
Rama. Bulshit lu. Lu berlindung di
balik tampang lu yang sok polos, sok alim. Ternyata lu suka juga mainin hati
cewek.” Ia senyum nyeleneh.
Sepertinya,
ia tak terima aku memperlakukan Ratih seperti itu. Iya, Wisnu memang sudah lama
menyukai Ratih. Namun Ratih tak suka padanya. Berkali-kali Wisnu ‘menembak’
Ratih namun berkali-kali pula Ratih menolaknya. Aku tak mengerti, mengapa Ratih
menolak lelaki yang sudah nyata-nyata menjadi seorang pria dambaan
wanita-wanita kampus.
Aku
terdiam, tak menjawab perkataan-perkataan Wisnu tadi. Aku menunduk. Wisnu
sepertinya mencoba meredamkan emosinya. Mungkin karena melihat aku yang sudah
tertunduk seperti itu. Sesungguhnya, Wisnu adalah orang yang baik. Hanya saja,
sifat ‘koleris’ yang ia miliki membuat ia terlihat sedikit bringas. Tapi,
sejujurnya, dia adalah orang yang tulus.
Kami
diam beberapa saat, hanya suara pengujung cafe lain yang bercengkrama, ngobrol
dan tertawa. Aku sangat merasa tidak nyaman dengan situasi seperti ini. Aku
memutuskan untuk pergi.
“Maaf,
Wisnu. Aku balik duluan ya.”
Aku
pergi. Sekilas aku melihat wajah Wisnu yang masih terlihat kesal dan tak
menoleh ke arahku. Ia biarkan aku berlalu tanpa sepatah katapun.
***
Aku
tersadar dari pikiranku yang telah melanglang buana kemana-mana. Jam dinding
seperti tertawa melihatku yang masih terjaga saat ini. Ku lihat sudah pukul 12.25
dini hari. Cukup lama rasanya aku melamun. Aku terbaring kembali menatap
langit-langit kamar. Pandanganku masih kosong, sepintas lalu aku teringat
dengan wajah sayu Nayma. Gadis berkerudung itu, yang tak sengaja kulihat di
perpustakaan kampus. Ia hanya lewat, namun auranya sampai ke dalam hatiku.
Melihatnya aku merasa tenang. Gadis bermata biru itu telah membuat hati ini
sejuk dan nyaman. Sayang, aku hanya dapat melihatnya sekilas. Aku tak
mengenalnya, hanya nama yang dapat kukantongi tentang dirinya. Aku pernah
bertanya pada temanku, Fadli. Ia satu forum dengan Nayma. Ingin kukulik banyak
tentang dirinya, tapi aku rasa ini belum waktunya. Aku takut Fadli akan
berpikiran macam-macam terhadapku ketika aku bertanya banyak tentang Nayma. Aku
pun berfikir, orang sepertiku tak pantas untuk menjadi pendamping hidup seorang
gadis ayu nan sholehah itu. Fikiranku telah jauh berfikir kesana, membangun
bahtera rumah tangga bersamanya, Nayma. Aduh, aku kembali tersadar. Aku hanya
terbaring pasrah terhadap apa yang aku fikirkan malam ini. Berperang dengan
pikiran dan perasaan.
Aku
mencoba memejamkan mata, setelah teringat Nayma, kembali aku teringat dengan
Ratih. Teringat atas semua yang aku dan ia alami dua hari yang lalu. Aku telah
mengoyak hatinya.
“Maafkan
aku, Ratih. Duh, aku harus bagaimana, ya Allah.” Desahku dalam pejam.
Setelah
berkutat dengan fikiran-fikiran yang membuatku serasa ingin meledak, aku
beringsut keluar kamar, masuk ke kamar kecil ‘jamaah’ kosan kami. Setelah
berwudhu dengan sedikit mengguyurkan air di kepalaku, ku buka Al-Qur’an yang
ada di atas meja. Aku membacanya, dengan tartil dan kemudian membaca artinya.
Sudah satu jus aku tamatkan malam ini. Aku beringsut dan kemudian mataku
menghadap ke jam dinding, tepat pukul 1 dini hari. Dan disini, aku masih
terjaga. Aku meraih sajadah di atas kasur lapuk tempat dimana aku tidur,
kutumpahkan unek-unek yang ada dalam hati dan fikiranku. Inilah saat dimana aku
bersimpuh dan meminta ampun pada-Nya, berdoa dan bermunajat meminta
penyelesaian atas apa yang aku alami. Aku yakin, ini semua rencana Allah, dan
Allah punya cara untuk menyelesaikannya, tinggal bagaimana aku meminta
pada-Nya. Tinggal bagaimana aku berusaha untuk mengahadapi semua ini.
Tak
terasa, aku terelelap di atas sajadahku. Malam itu aku merasa damai, tak
seperti malam-malam sebelumnya, aku merasakan nikmatnya berduaan dengan yang
menciptakan hati, Allah Azza wa Jalla.
(Bersambung)
No comments:
Bila ada komentar, kritik atau saran silakan ditulis disini ya. Terimakasih.