#3 Meraih Matahari - infpage

#3 Meraih Matahari

Kamar kos petak kecil segi empat tak bersekat. Tak ada ruang makan, kamar mandi atau dapur. Hanya ada satu ruangan saja dimana semua alat-alatku berada disitu, benar-benar untuk tempat tidur dan ‘ruang kerja’ ku saja. Kamar kos yang super-duper murah bahkan hampir gratis ini aku dapat dari temanku yang peduli dengan hidupku yang sepertinya luntang-lanting mencari tempat tinggal pada saat itu. Sebelum tinggal di dalam kamar kos petak kecil ini, aku pernah menjadi seorang garim atau penjaga mesjid di simpang kampusku. Namun, ketika sudah di penghujung semester ini, aku memutuskan hengkang dari sana karena merasa banyak pekerjaanku di mesjid itu yang terbengkalai. Aku selalu pergi sebelum subuh dan pulang pun sudah sangat larut. Tak ada pekerjaan yang dapat aku lakukan ketika sudah tergeletak keletihan di dalam kamar mesjid. Aku memohon kepada Allah semoga keputusanku ini tak salah karena aku meninggalkan rumah Allah, dimana tempat ratusan umat muslim bersujud pada-Nya. Mesjid dengan corak unik ala-ala vintage dengan tonggak-tonggak tegak gagah perkasa menopang nya. Ah, sayang rasanya. Namun, inilah keputusanku. 

Jarum jam dinding yang ada di kamar setia menungguku terlelap. Ia telah menunjuk pada angka 12.05. Larut memang, dan mataku masih senang ‘terbelalak’ ke atas langit-langit bilik. Sesungguhnya aku sudah letih, lelah karena seharian aku ‘ber-patroli’ mengais ilmu dan rezeki untuk aku benar-benar bertahan hidup. Pagi hari aku kuliah hingga pukul 1 siang. Setelah kuliah berakhir, akupun harus segera menuju tempat ‘penggorengan’ mbak Ajeng tempat dimana aku mengais rezeki. Biasanya, setiap kuliah berakhir aku menjajakan gorengan. Aku mengambil sekitar 200 buah gorengan untuk aku jual keliling ataupun mangkal di sekitar keramaian. Lumayanlah, hasilnya bisa buat beli sambal untuk aku makan siang. Untuk makan malamku, aku tutupi dengan menjadi loper koran. Tak seberapa, dan terkadang aku mengabaikan pekerjaan itu karena waktu. Ya, makan malam pun kadang terlewatkan. Biasanya ketika aku tak makan malam, aku mengganjal perutku dengan roti harga seribuan ditemani secangkir kopi. Murah, dan mengenyangkan. Walau terkadang tengah malam perutku mulai mengumandangkan suara yang tak mengenak kan. Ia begitu berisik mengalahkan detak jam dinding kamarku. Ah, bagiku itu sudah biasa.

Kembali lagi aku menoleh pada arah jam dinding. Pandanganku kosong. Aku kembali teringat pada Wisnu yang menemuiku di perpustakaan siang tadi. Sekitar satu jam kami bertemu. Kedatangannya membuat aku harus merelakan waktuku untuk mengambil gorengan ke tempat mbak Ajeng.

“Ram...” Ia menghampiri tempat dudukku.

“Ada apa, Nu?

“Gua mau ngomong sama elu, Ram.” Jawabnya.

“Ngomong apa?” Aku penasaran melihat wajahnya yang benar-benar serius tatkala berbicara padaku.

“Mending kita keluar deh. Nggak enak ngobrol disini.”

Pria berkulit putih berwajah tampan dengan brewok tipis yang membuatnya menjadi seorang lelaki primadona di kampus ini mengajakku keluar perpustakaan. Sebenarnya aku tak berselera berbicara dengannya. Bukan karena aku tak suka padanya. Ini hanya karena aku harus pergi ke tempat mbak Ajeng untuk mengambil gorengan. Ia memaksaku untuk membuntutinya, dan ia pun ‘menyeretku’ ke cafe tempat biasa ia nongki-nongki dengan Ratih dan teman-temannya.

“Ram...” Kali ini wajahnya sedikit memerah dengan suara sedikit meninggi.

Ia melanjutkan perkataannya.

“Kok elu tega banget sih sama Ratih. Sok jual mahal banget lu gua liat.” Wajahnya sedikit mendekat ke arah wajahku. Hanya beberapa detik ia mendongak kan wajahnya padaku, setelah itu ia beringsut ke tempat duduknya. Duduknya sangat-sangat belagak, angkuh, seperti duduknya pejabat-pejabat antagonis kalau di senetron-sinetron.

Aku yang bingung hanya bertanya, “Maksud kamu apa, Nu? Aku nggak ngerti?”

“Gua udah tau gimana lu sama Ratih. Gua juga udah lama tau tentang perasaan Ratih sama lu. Tega lu buat dia nangis, Ram? Elu tau nggak, tu anak hampir mati, hah?”

Pria yang memiliki tinggi 175 cm ini berkata bahwa Ratih hampir saja bunuh diri karena ulahku.

Glek, aku menelan ludah yang rasanya membanjiri seluruh tenggorokanku sedari tadi. Terkejut. Benarkah apa yang dikatakannya? Aku membathin, astaghfirullah.

Beberapa saat pandanganku kosong. Aku terdiam. Rasa tak percaya menyerangku. Aku berfikir, apakah aku salah pada gadis itu. Apakah aku benar-benar telah hampir membunuh seorang gadis hanya karena hati?



“Woy!” Hardik Wisnu membuyarkan lamunanku. Hardikannya sedikit keras sampai membuat pengunjung cafe lain menoleh ke arah kami. Tak puas sampai disitu, ia berkata padaku,

“Heh, Rama. Bulshit lu. Lu berlindung di balik tampang lu yang sok polos, sok alim. Ternyata lu suka juga mainin hati cewek.” Ia senyum nyeleneh.

Sepertinya, ia tak terima aku memperlakukan Ratih seperti itu. Iya, Wisnu memang sudah lama menyukai Ratih. Namun Ratih tak suka padanya. Berkali-kali Wisnu ‘menembak’ Ratih namun berkali-kali pula Ratih menolaknya. Aku tak mengerti, mengapa Ratih menolak lelaki yang sudah nyata-nyata menjadi seorang pria dambaan wanita-wanita kampus.

Aku terdiam, tak menjawab perkataan-perkataan Wisnu tadi. Aku menunduk. Wisnu sepertinya mencoba meredamkan emosinya. Mungkin karena melihat aku yang sudah tertunduk seperti itu. Sesungguhnya, Wisnu adalah orang yang baik. Hanya saja, sifat ‘koleris’ yang ia miliki membuat ia terlihat sedikit bringas. Tapi, sejujurnya, dia adalah orang yang tulus.

Kami diam beberapa saat, hanya suara pengujung cafe lain yang bercengkrama, ngobrol dan tertawa. Aku sangat merasa tidak nyaman dengan situasi seperti ini. Aku memutuskan untuk pergi.
“Maaf, Wisnu. Aku balik duluan ya.”

Aku pergi. Sekilas aku melihat wajah Wisnu yang masih terlihat kesal dan tak menoleh ke arahku. Ia biarkan aku berlalu tanpa sepatah katapun.

***

Aku tersadar dari pikiranku yang telah melanglang buana kemana-mana. Jam dinding seperti tertawa melihatku yang masih terjaga saat ini. Ku lihat sudah pukul 12.25 dini hari. Cukup lama rasanya aku melamun. Aku terbaring kembali menatap langit-langit kamar. Pandanganku masih kosong, sepintas lalu aku teringat dengan wajah sayu Nayma. Gadis berkerudung itu, yang tak sengaja kulihat di perpustakaan kampus. Ia hanya lewat, namun auranya sampai ke dalam hatiku. Melihatnya aku merasa tenang. Gadis bermata biru itu telah membuat hati ini sejuk dan nyaman. Sayang, aku hanya dapat melihatnya sekilas. Aku tak mengenalnya, hanya nama yang dapat kukantongi tentang dirinya. Aku pernah bertanya pada temanku, Fadli. Ia satu forum dengan Nayma. Ingin kukulik banyak tentang dirinya, tapi aku rasa ini belum waktunya. Aku takut Fadli akan berpikiran macam-macam terhadapku ketika aku bertanya banyak tentang Nayma. Aku pun berfikir, orang sepertiku tak pantas untuk menjadi pendamping hidup seorang gadis ayu nan sholehah itu. Fikiranku telah jauh berfikir kesana, membangun bahtera rumah tangga bersamanya, Nayma. Aduh, aku kembali tersadar. Aku hanya terbaring pasrah terhadap apa yang aku fikirkan malam ini. Berperang dengan pikiran dan perasaan.

Aku mencoba memejamkan mata, setelah teringat Nayma, kembali aku teringat dengan Ratih. Teringat atas semua yang aku dan ia alami dua hari yang lalu. Aku telah mengoyak hatinya.

“Maafkan aku, Ratih. Duh, aku harus bagaimana, ya Allah.” Desahku dalam pejam.

Setelah berkutat dengan fikiran-fikiran yang membuatku serasa ingin meledak, aku beringsut keluar kamar, masuk ke kamar kecil ‘jamaah’ kosan kami. Setelah berwudhu dengan sedikit mengguyurkan air di kepalaku, ku buka Al-Qur’an yang ada di atas meja. Aku membacanya, dengan tartil dan kemudian membaca artinya. Sudah satu jus aku tamatkan malam ini. Aku beringsut dan kemudian mataku menghadap ke jam dinding, tepat pukul 1 dini hari. Dan disini, aku masih terjaga. Aku meraih sajadah di atas kasur lapuk tempat dimana aku tidur, kutumpahkan unek-unek yang ada dalam hati dan fikiranku. Inilah saat dimana aku bersimpuh dan meminta ampun pada-Nya, berdoa dan bermunajat meminta penyelesaian atas apa yang aku alami. Aku yakin, ini semua rencana Allah, dan Allah punya cara untuk menyelesaikannya, tinggal bagaimana aku meminta pada-Nya. Tinggal bagaimana aku berusaha untuk mengahadapi semua ini.

Tak terasa, aku terelelap di atas sajadahku. Malam itu aku merasa damai, tak seperti malam-malam sebelumnya, aku merasakan nikmatnya berduaan dengan yang menciptakan hati, Allah Azza wa Jalla.

(Bersambung)

No comments:

Bila ada komentar, kritik atau saran silakan ditulis disini ya. Terimakasih.

Wira Puspa Nuansa

#nursahab