“Maaf,
maaf, maaf...”
Itulah
kata-kata yang ingin aku ucapkan padanya. Namun, tak satupun kata-kata itu
keluar dariku. Mulutku terkatup, aku tak bisa mengucapkan itu padanya. Mulutku
terkunci, logika memaksaku untuk meneriakan itu padanya, tapi kali ini ia kalah
oleh perasaanku. Hatiku berkata jangan, dan ia pun menang.
Ia
adalah gadis yang baik, tak sanggup rasanya. Tapi inilah yang seharusnya aku
lakukan. Jalan yang aku ambil agar ia tak salah dalam mengartikan cinta. Karena
menurutku cinta adalah menjaga dan mengikhlaskan. Bila cinta itu tak berpihak
padaku, maka di saat itulah aku harus mengikhlaskan, pun sebaliknya, ketika
cinta itu berada dalam dekapanku, harus aku jaga dengan sepenuh hati dan
meniatkannya karena Allah semata, agar ia menjadi nilai ibadah.
“Sejahat
inikah kamu, Rama.” Ucap gadis itu.
Akupun
masih terdiam, setelah kata-kata yang aku keluarkan tadi. Aku tak bersuara
lagi, karena aku merasa sudah cukup untuk berkata-kata sekarang.
“Tegakah
kamu melihatku seperti ini? Beginikah caramu memperlakukan wanita?”
Hatiku
bergumam, “Cukup, Ratih. Kumohon, cukup.”
Tapi
kata-kata itu hanya bergejolak di dalam hatiku. Tak kulontarkan sepatah katapun
kali ini.
“Aku
seperti bicara sama patung sekarang. Jawab pertanyaanku, Rama.” Paksanya.
Ratih
adalah gadis satu kampus denganku, ia adalah anak pengusaha kaya dimana omset
yang dihasilkan ayahnya sehari melebihi gaji ayahku sebulan kala ia masih
hidup. Ia berasal dari keluarga yang berkecukupan, menjadi anak semata wayang
menjadikan setiap kehendak dan permintaannya selalu dipenuhi oleh kedua orang
tuanya.
Aku salah satu lelaki dari sekian banyak lelaki yang dekat dengannya. Tak begitu dekat,
hanya sebatas teman seperjuangan. Namun aku merasa ia memiliki hati denganku.
Perasaan itu bertambah kuat ketika sore ini ia mengungkapkan semuanya padaku.
Aku terkejut, baru kali ini aku mendapati wanita yang langsung menyampaikan
hati dan perasaannya. Serasa ketiban durian runtuh. Iya, siapa
menyangka, gadis secantik Ratih dan berasal dari keluarga terpandang dan juga banyak laki-laki yang menyukainya, menyatakan cintanya padaku yang hanya
seorang yatim piatu hidup sendiri tanpa ayah dan ibu. Dan aku hanya mempunyai penghasilan
dari berjualan gorengan di kampus juga menjadi seorang loper koran ketika kuliah selesai. “Mimpi
apa kau semalam, Rama?” Bathinku.
Dalam
diamku, aku berpikir dan berusaha mencari jalan keluar untuk saat ini.
Bagaimana Ratih bisa mengerti dengan apa yang aku maksud. Ia yang sedari tadi
menyuruhku untuk menjawab pertanyaannya kemudian terdiam melihat sikapku yang
seperti itu, diam tak bersuara. Mungkin kali ini ia sudah bosan. Saat itu, suasana hening, hanya
riak gelombang pantai yang memecah keheningan diantara kami.
“Ratih...”
Ujarku memecah keheningan.
Ia
menyibak ke arahku. Terlihat sayu matanya sehabis menangis. Mata cokelatnya
membuatku harus segera beralih pandang, aku tak ingin indah matanya membuat
setan mencari celah untukku dan Ratih berbuat maksiat, ya, zina mata lebih
tepatnya. Menikmati kecantikan matanya yang bukan hakku. Materi Gouzul Bashar
dari murobbi -guru- sekilas terngiang dipikiranku. “Astaghfirullah, ampuni hambamu ini,
ya Allah.”
“Rama,
bahkan kamu aja nggak mau menatap aku. Salah aku apa, Rama? Salahkah aku
mengucapkan itu padamu? Aku nggak ngerti sama kamu, Rama. Harusnya kamu
senang, kan?”
Kali
ini, aku harus menjawab pertanyaannya dengan jantan. Kurasa sudah cukup diamku. Mungkin kata-kataku tadi belum membuatnya puas. Dalam hatiku "Aku melakukan
ini hanya untuk menjagaku dan juga menjagamu, Ratih. Menjaga kehormatanmu sebagai seorang wanita."
“Ratih,
aku sudah dengar semua kata-kata kamu tadi. Aku sudah dengar. Aku paham, aku
mengerti. Akupun sudah menjawabnya tadi kan?”
“Itu
jawabanmu, Rama? Aku nggak ngerti. Kumohon, Rama. Aku sayang sama kamu. Aku
kurang apa lagi sih, Ram?”
Pandanganku
kosong ke arah lautan lepas. Aku berfikir, kapan teman-temanku akan datang
kemari. Mereka berkata padaku bahwa mereka akan datang secepat kilat, melejit bagai cahaya laser, namun apa
yang ada, hanya aku dan Ratih. Berdua dengannya. Aku merasa seperti terperangkap dalam rencana
mereka. Iya, teman-temanku sudah mengetahui perasaan Ratih, mungkin
Ratih meminta bantuan pada mereka untuk membuatku dan dia berduaan seperti
ini. Mereka tau sekali kalau aku tidak suka berduaan dengan seorang gadis. Mereka sangat tau itu. Karena susah untuk mendapatkan moment berduaan seperti ini, mereka membuat
rencana. Dan, rencana mereka berhasil. Kali ini aku benar-benar masuk dalam perangkap mereka. Itu baru terpikir olehku, aku tak menyadari. Sudahlah, ini sudah terjadi. Aku sudah berada di dalamnya, berduaan
dengan gadis bermata cokelat ini.
Aku
mulai melanjutkan suaraku.
“Ratih...”
(Bersambung)
Kak ditunggu lanjutan ceritanya ya
ReplyDeleteKece kak 😉
ReplyDelete