#1 Meraih Matahari - infpage

#1 Meraih Matahari


“Maaf, maaf, maaf...”

Itulah kata-kata yang ingin aku ucapkan padanya. Namun, tak satupun kata-kata itu keluar dariku. Mulutku terkatup, aku tak bisa mengucapkan itu padanya. Mulutku terkunci, logika memaksaku untuk meneriakan itu padanya, tapi kali ini ia kalah oleh perasaanku. Hatiku berkata jangan, dan ia pun menang.

Ia adalah gadis yang baik, tak sanggup rasanya. Tapi inilah yang seharusnya aku lakukan. Jalan yang aku ambil agar ia tak salah dalam mengartikan cinta. Karena menurutku cinta adalah menjaga dan mengikhlaskan. Bila cinta itu tak berpihak padaku, maka di saat itulah aku harus mengikhlaskan, pun sebaliknya, ketika cinta itu berada dalam dekapanku, harus aku jaga dengan sepenuh hati dan meniatkannya karena Allah semata, agar ia menjadi nilai ibadah.

“Sejahat inikah kamu, Rama.” Ucap gadis itu.

Akupun masih terdiam, setelah kata-kata yang aku keluarkan tadi. Aku tak bersuara lagi, karena aku merasa sudah cukup untuk berkata-kata sekarang.

“Tegakah kamu melihatku seperti ini? Beginikah caramu memperlakukan wanita?”
Hatiku bergumam, “Cukup, Ratih. Kumohon, cukup.”

Tapi kata-kata itu hanya bergejolak di dalam hatiku. Tak kulontarkan sepatah katapun kali ini.
“Aku seperti bicara sama patung sekarang. Jawab pertanyaanku, Rama.” Paksanya.

Ratih adalah gadis satu kampus denganku, ia adalah anak pengusaha kaya dimana omset yang dihasilkan ayahnya sehari melebihi gaji ayahku sebulan kala ia masih hidup. Ia berasal dari keluarga yang berkecukupan, menjadi anak semata wayang menjadikan setiap kehendak dan permintaannya selalu dipenuhi oleh kedua orang tuanya. 

Aku salah satu lelaki dari sekian banyak lelaki yang dekat dengannya. Tak begitu dekat, hanya sebatas teman seperjuangan. Namun aku merasa ia memiliki hati denganku. Perasaan itu bertambah kuat ketika sore ini ia mengungkapkan semuanya padaku. Aku terkejut, baru kali ini aku mendapati wanita yang langsung menyampaikan hati dan perasaannya. Serasa ketiban durian runtuh. Iya, siapa menyangka, gadis secantik Ratih dan berasal dari keluarga terpandang dan juga banyak laki-laki yang menyukainya, menyatakan cintanya padaku yang hanya seorang yatim piatu hidup sendiri tanpa ayah dan ibu. Dan aku hanya mempunyai penghasilan dari berjualan gorengan di kampus juga menjadi seorang loper koran ketika kuliah selesai. “Mimpi apa kau semalam, Rama?” Bathinku.

 Dalam diamku, aku berpikir dan berusaha mencari jalan keluar untuk saat ini. Bagaimana Ratih bisa mengerti dengan apa yang aku maksud. Ia yang sedari tadi menyuruhku untuk menjawab pertanyaannya kemudian terdiam melihat sikapku yang seperti itu, diam tak bersuara. Mungkin kali ini ia sudah bosan. Saat itu, suasana hening, hanya riak gelombang pantai yang memecah keheningan diantara kami.

“Ratih...” Ujarku memecah keheningan.



Ia menyibak ke arahku. Terlihat sayu matanya sehabis menangis. Mata cokelatnya membuatku harus segera beralih pandang, aku tak ingin indah matanya membuat setan mencari celah untukku dan Ratih berbuat maksiat, ya, zina mata lebih tepatnya. Menikmati kecantikan matanya yang bukan hakku. Materi Gouzul Bashar dari murobbi -guru- sekilas terngiang dipikiranku. “Astaghfirullah, ampuni hambamu ini, ya Allah.”

“Rama, bahkan kamu aja nggak mau menatap aku. Salah aku apa, Rama? Salahkah aku mengucapkan itu padamu? Aku nggak ngerti sama kamu, Rama. Harusnya kamu senang, kan?”

Kali ini, aku harus menjawab pertanyaannya dengan jantan. Kurasa sudah cukup diamku. Mungkin kata-kataku tadi belum membuatnya puas. Dalam hatiku "Aku melakukan ini hanya untuk menjagaku dan juga menjagamu, Ratih. Menjaga kehormatanmu sebagai seorang wanita."

“Ratih, aku sudah dengar semua kata-kata kamu tadi. Aku sudah dengar. Aku paham, aku mengerti. Akupun sudah menjawabnya tadi kan?”

“Itu jawabanmu, Rama? Aku nggak ngerti. Kumohon, Rama. Aku sayang sama kamu. Aku kurang apa lagi sih, Ram?”

Pandanganku kosong ke arah lautan lepas. Aku berfikir, kapan teman-temanku akan datang kemari. Mereka berkata padaku bahwa mereka akan datang secepat kilat, melejit bagai cahaya laser, namun apa yang ada, hanya aku dan Ratih. Berdua dengannya. Aku merasa seperti terperangkap dalam rencana mereka. Iya, teman-temanku sudah mengetahui perasaan Ratih, mungkin Ratih meminta bantuan pada mereka untuk membuatku dan dia berduaan seperti ini. Mereka tau sekali kalau aku tidak suka berduaan dengan seorang gadis. Mereka sangat tau itu. Karena susah untuk mendapatkan moment  berduaan seperti ini, mereka membuat rencana. Dan, rencana mereka berhasil. Kali ini aku benar-benar masuk dalam perangkap mereka. Itu baru terpikir olehku, aku tak menyadari. Sudahlah, ini sudah terjadi. Aku sudah berada di dalamnya, berduaan dengan gadis bermata cokelat ini.

Aku mulai melanjutkan suaraku.

“Ratih...”

(Bersambung)


2 comments:

Bila ada komentar, kritik atau saran silakan ditulis disini ya. Terimakasih.

Wira Puspa Nuansa

#nursahab