Kulihat ia yang lemah masuk tanpa mengucap salam.
Berjalan menghampiriku bagai preman yang tengah menghadang ketika ia sedang
dimabuk minuman keras. Memang, memang perumpamaan itu sangat sesuai dengan apa yang kulihat kini. Bau busuk minuman
terlarang itu terasa menembus celah-celah rongga dinding rumah kami.
“Inikah yang kau lakukan, Ma?” Jerit hatiku.
Kali ini ia memelukku, seperti ingin berkata padaku yang sedari tadi menunggunya. Namun, setengah jam berlalu tak ada sepatah katapun yang ia ucapkan padaku. Hanya aroma menyengat itu yang seakan-akan berbicara padaku. Berbicara, bahwa inilah mamaku. Inilah kelakuannya. Kelakukan yang tak sudi untuk dilihat siapa saja anak yang dilahirkannya. Menyayat rasanya, walaupun saat ini ia sedang berada dalam rengkuhanku, namun, serasa ingin tumbang raga dan jiwa ini. Betapa tidak, wanita yang sedari tadi aku nanti dengan penuh harap dan kecemasan, pulang-pulang sudah begini. Sakit!
Keesokan harinya, ketika ia masih terlelap tidur di dalam
kamar tidurnya, aku dengan perasaan kalut menyiapkan sarapan pagi untuk adik dan mamaku.
Peristiwa tadi malam masih terasa menghujam dalam hatiku.
“Kak, Mama mana? Kok aku belum liat mama dari tadi kak.”
Tanya adikku.
“Mama lagi sakit, sayang. Dia lagi tidur di dalam kamar.”
Jawabku.
Mendengar jawabanku, ia langsung berlari menuju kamar
mamaku yang tak jauh dari dapur. Dalam benakku, masih bergulat perasaan yang
sedari malam aku rasakan. Hati dan fikiran terus aku upayakan agar selalu
mengingat-Nya. Tak ingin sedihku ini terlihat oleh orang-orang yang aku sayang.
Berusaha tegar walau apapun yang terjadi.
“Nak, ingat bahwa Allah senantiasa selalu ada dalam setiap
sendi-sendi kehidupan kita. Papa tidak mau melihat anak papa sedih.”
“Kaaaaak, kaaaaak, Mama kaaaak!” Teriakan adikku
membuyarkan lamunanku tentang petuah sederhana papa dulu sebelum ia pergi ke pangkuan Yang Maha Kuasa.
“Ada apa, dek?” Sambil berlari ke arah teriakan itu.
“Mama batuk-batuk dari tadi kak. Aku kasih minum, trus
aku tepuk-tepuk bahunya. Mama terus batuk-batuk kak. Nggak lama, batuk mama
semakin menjadi-jadi kak. Batuk mama keluarin darah. Gimana ni kak?” Adikku
yang tadinya menemani mama tak kuasa menahan deras air mata melihat darah
kental keluar bersamaan dengan batuk terus menerus yang dialami wanita yang sangat kami sayangi itu.
Aku, yang melihat kejadian itu sejenak terdiam, tak kukucurkan air mata, karena
ia masih tersendak dalam kerongkonganku. Tak ingin untuk mengeluarkannya dalam
kondisi yang genting ini. Hal itu malah akan menambah keruh suasana. Dan setelah
mengambil segelas air minum untuk mama, akupun mencoba menenangkan adikku.
Adibah, adik sematawayangku. Gadis kecil berusia belum
genap 7 tahun ini membuatku sangat bersyukur memilikinya. Karena ia menjadi
adik, kawan sekaligus sahabatku kala aku diselimuti kesepian, dikala tak ada
mama di sampingku, dan dikala tak ada papa yang penuh dengan canda tawa dan
guyonannya. Allah kirimkan malaikat kecilnya untuk menemaniku agar aku tak
begitu merasakan pedihnya kehidupan ini. Ia adalah seorang melankolis yang
sangat lembut hatinya. Ia mudah bersedih kala ia merasa seseorang menyakiti
hatinya dan merasa sangat gembira dengan kabar baik yang datang dari siapa
saja. Ah, adikku sayang. Jangan Kau ambil dulu dia dariku, ya Allah. Aku belum
puas bersamanya. Harapan itu terus kupanjatkan dalam setiap sajak-sajak doa
yang aku bingkai dan aku kirimkan untuk Sang Penciptaku.
Setelah tangis adikku mereda bersamaan dengan batuk
mamaku yang sedari tadi tiada henti-hentinya seketika hening tak bersuara
melihat aku dan adikku berpelukkan beberapa saat. Tak terasa bulir bening itu
keluar dari pelupuk mata yang nanar itu. Seakan ingin menceritakan sesuatu.
Seakan ingin meluapkan perasaan yang tak dapat lagi terbendung. Aku dapat
membaca mata itu. Aku berharap mama bersuara dan menceritakan apa yang ingin ia
ungkapkan.
“Rana ...
(Bersambung)
No comments:
Bila ada komentar, kritik atau saran silakan ditulis disini ya. Terimakasih.