“Rana, mama minta maaf ya. Mama salah. Mama sudah sangat
berdosa. Mama kotor, nak.” Ucapan itu diiringi dengan tangisnya yang membuncah.
Tak biasanya ia berbicara dengan kucuran air mata. Mama yang biasanya adalah
mama yang berbicara kasar ketika aku bertanya.
“Ma, mama kok ngomongnya gitu. Bagi aku mama tetap mama
aku, dan Adibah. Mama jangan ngomong gitu lagi ya.” Jawabku menyembunyikan
pedih.
“Kamu nggak tau apa-apa, sayang. Kamu nggak tau apa yang
selama ini mama lakukan.” Lirihnya.
Mendengar kata-kata
terakhir yang dilontarkannya, aku merasa merinding. Aku jadi teringat dengan
hal-hal yang membuatku bertanya-tanya selama ini. Aku pernah melihat puntung
rokok di bawah tempat tidur mama ketika aku membersihkan kamarnya. Aku yang
telah mendapat izin untuk membersihkan kamarnya dibuat kaget dengan puntung
rokok itu. Pada saat itu, aku hanya berfikir positif dengan apa yang aku
temukan. Aku tak ingin mengambil pusing. Itu kan hanya puntung rokok, mungkin
sisa-sisa puntung rokok papaku dulu sewaktu masih rajin menghisap barang tak menyehatkan itu. Karena sudah lama
sekali kamar ini tidak dibersihkan.
Mama juga sering pulang
larut malam. Bahkan sampai pukul 2 mama berani pulang ke rumah. Bayangkan saja,
wanita dengan jam-jam rawan seperti itu berkeliaran di luar rumah. Aku sebagai
anaknya sangat khawatir dan curiga padanya. Ketika pulang, aku sudah biasa
mencium aroma minuman. Aku tak bisa bertanya, karena belum apa-apa aku sudah
kena sembur, dimarahin.
Kecurigaanku tak sampai
disitu. Aku teringat dengan lelaki yang bersama mama yang aku lihat ketika
pulang dari kampus. Awalnya aku mengira bahwa mataku telah ceroboh melihat
seorang yang aku fikirkan. Namun, Allah membuka lebar-lebar kembali mataku.
Benar, dia mamaku. Bersama lelaki yang tak kukenal. Ketika aku melihat itu, aku
berusaha meyakinkan hatiku bahwa itu hanya teman mama. Ya, teman. Tidak lebih
dari seorang teman.
“Rana...” Suara itu
kembali terdengar.
“Iya, Ma. Ada apa? Ada
yang terasa sakit, Ma?” Jawabku.
Kali ini, ia benar-benar
mengungkapkan kekalutannya. Wajah yang dilumuri kerisauan itu kutampik dengan
senyuman.
“Mama, ngomong aja. Rana
dengerin mama ngomong ya. Mama mau bilang apa, Ma?”
Adibah yang sedari tadi
memperhatikanku dan mama kini tertidur dipangkuanku. Lirih nafasnya terdengar sangat
jelas. Hal itu mengisyaratkan bahwa ia sangat lelah oleh isak tangis yang tak
henti-hentinya. Kupegang dahinya, terasa panas. Pagi ini ia tidak berangkat
sekolah karena demam yang ia alami. Sedikit menjalar rasanya, perasaan cemas
yang kurasakan. Namun, aku harus kuat. “Aku harus menjaga keluarga ini.” bathinku.
Setelah kubaringkan Adibah di tempat tidurnya, aku kembali
ke kamar mama. Dan kali ini, aku benar-benar ingin meneteskan air mata. Sebelum
masuk ke kamarnya, aku menguatkan hatiku, mencoba tegar dan bertahan. Serasa
ada sesuatu yang akan menimpaku. Aku berdoa semoga apa yang aku fikirkan
tidaklah menjadi apa yang akan diperbincangkan mama di kamar nanti. Sekilas aku
ingat kembali hal-hal yang membuatku curiga. Namun, hal itu segera kutampik
dengan mengingat wajah mama yang sayu.
“Ma, Adibah udah aku tidurkan di kamarnya. Dia demam, Ma.
Tadi udah aku kompres. Mama jangan khawatir ya.” Jelasku.
Mama terlihat sangat gelisah, tangannya gemetaran dan
matanya sayu. Ia mencoba duduk, namun tak kuasa karena ia merasakan sakit di
dadanya. Kulihat nafasnya sedikit terengah. Tak lama kemudian, ia memulai
kembali pembicaraan.
“Rana, mama akan ceritakan semuanya ke kamu, Nak. Mulai
sekarang tidak ada lagi yang mama sembunyi-sembunyikan.” Terlihat tegar raut
muka mama, namun aku tau, itu adalah ketegaran palsu.
“Iya, Ma.” Jawabku singkat.
Jantungku terasa berdebar-debar. Entah apa yang selalu
membuatku seperti ini. Padahal, aku harus kuat di depan mama.
“Rana, selama ini mama menjadi wanita malam, Nak.”
Tak dapat berkata apa-apa, serasa di sambar petir di siang
bolong. Kata-kata mama barusan mengoyak hatiku yang sedari tadi berharap hal
itu tak keluar dari mulutnya. Ternyata benar apa yang selama ini aku
khawatirkan. Kecurigaanku benar-benar menjadi kenyataan. Aku tak tahu merasakan
apa. Yang jelas, semua bercampur aduk. Kesal dan marah sudah pasti ada, namun
perasaan sedihku lebih menggunung. Jerit hatiku pilu. Terasa sekali menghujam ke
dalam bathinku. Ya Allah.
Setelah lima menit kami terdiam, aku mulai bersuara. “Sejak
kapan mama seperti ini?”
Mama yang seakan telah menceritakan semuanya kembali
berbicara padaku. Dengan isak tangis ia mengatakan bahwa ia melakukan semua ini
untuk memenuhi kebutuhan kita.
“Karena papamu sudah nggak ada lagi, mama bingung mau
cari uang ke mana. Hutang mama dimana-mana. Setelah seminggu papamu meninggal,
mama selalu mengurung diri di kamar, kan? Mama bingung, Rana. Mama nggak tau
lagi harus bagaimana.” Semakin deras air mata itu mengalir.
Mama melakukan itu dengan terpaksa. Ia mendapat tawaran
itu dari temannya yang juga melakukan hal yang sama. Papa sudah meninggal empat
tahun yang lalu. Ia meninggal karena penyakit jantung yang ia derita sejak
kecil. Papa seorang yang baik dan suka bergaul. Wataknya keras, namun hatinya
lembut. Ia mengajarkan kami menjadi anak-anak yang tegar dan kuat menghadapi
permasalahan hidup. Papa pernah berkawan dengan rokok. Sehari ia bisa
menghabiskan berslot-slot rokok. Sampai suatu ketika, ada sesuatu hal terjadi
yang membuatnya berhenti permanen menggunakan barang itu. Ya, ketika Adibah
mengalami sesak nafas parah dan di bawa ke rumah sakit, lalu didiagnosa dokter
bahwa rokoklah yang menjadi penyebab penyakit Adibah. Betapa tidak, pagi siang
dan malam si kecil itu harus menghirup udara yang tidak sehat. Udara yang penuh
dengan toxin mematikan. Semenjak itu, papa sangat merasa bersalah. Karena
sayangnya pada Adibah, papa benar-benar berhenti merokok.
“Berarti mama sudah seperti ini sejak 4 tahun lalu, Ma?
Kenapa mama nggak bilang ke aku, Ma? Mama kan bisa cerita sama aku. Biar kita
selesaikan sama-sama, Ma. Nggak harus kayak gini. Mama tau gimana hatiku
sekarang, Ma? Mama tau kan, Ma?” Air mataku tak bisa kubendung lagi. Tanpa
terasa ia keluar dengan derasnya.
Tangis kami semakin membuncah seisi kamar. Mama memelukku
erat dengan isak tangis yang melebur. Menggambarkan bahwa ia benar-benar merasa
bersalah.
“Maafkan mama, Rana. Maafkan mama. Maafkan mama yang
selama ini kasar sama kamu. Mama tau mama salah. Maafkan mama, Nak.” Suara maaf
itu kembali terdengar.
Aku hanya bisa menangis dan mengurai air mata. Aku
menangis meluapkan isi hatiku. Selama ini aku menangis sendiri, di kamar. Tanpa
ada seorangpun yang tau. Kini, mama memelukku. Pelukan yang sangat aku rindui.
Dipelukkannya aku menangis, dan terus menangis. Tak kukeluarkan sepatah
katapun. Karena tangis ini sudah mewakili perasaanku. Pedih!
Dua jam berlalu. Jam dindingpun telah menunjukkan waktu
Maghrib. Aku dan Adibah sudah siap dan akan melaksanakan shalat Maghrib. Tak
kusangka, mama keluar dari kamarnya menggunakan mukenah yang selama ini
terletak di atas meja. Mukenah yang tak terjamah lagi. Tak pernah dipakainya,
tak pernah mekelat pada tubuhnya. Namun, kali ini ia nampak anggun dengan
balutan mukenah itu. Tak terasa sebulir bening air mataku menetes. Mengucap
syukur dalam hati.
“Mama jadi imam ya.” Adibah bersuara yang kemudian dibalas
senyum oleh mama.
Shalat Maghrib kali ini
terasa sangat indah. Sudah empat tahun aku tak merasakan lagi suasana seperti
ini. Suasana yang sangat aku rindukan. Berkumpul bersama mama. Mamaku yang kini
telah berubah. Tak lama, lamunanku dikejutkan oleh Adibah.
“Kakak, kakak....”
“Rana, terimakasih ya kamu
sudah membuat mama berubah. Allah sudah memberikan lagi cahaya itu pada mama
melalui kamu” Ujarnya.
“Kenapa Rana, Ma?” Tanyaku
bingung.
“Malam itu, mama lihat
kamu di kamar, Nak. Kamu terlihat sangat merintih pedih. Terdengar doamu yang
sangat menyayat hati mama, membuat mama sadar bahwa jalan yang mama ambil
selama ini salah. Mama malu pada diri mama sendiri.” Jelasnya dengan linangan
air mata yang kembali menyulut.
“Mama, udah. Jangan nangis
lagi ya, Ma. Aku ngelakuin ini karena aku sayang sama mama. Bagaimanapun
kelakuan mama, mama tetaplah mama aku. Aku nggak mau kehilangan surgaku, Ma.
Surgaku ada di bawah telapak kaki mama. Aku pengen bersama mama di surga.”
Dengan berkaca-kaca kuungkapkan itu. Tanpa terasa aku dan Adibah tertidur di
pangkuannya. Kini mamaku kembali, kembali ke jalan itu. Jalan yang selama ini
aku tempuh.
Begitulah manusia, hati
dapat terbolak-balik. Hidayah dapat masuk dalam relung hati insan yang Ia
kehendaki. Ringkihnya hati manusia seharusnya dibaluri selalu dengan keistiqomahan telaga air mata
yang penuh dengan penyesalan, akan dosa-dosa yang selama ini dilakukan. Manusia
hanya harus ikhtiar dan berdoa. Karena garis takdir ada di tangan-Nya,
Allah-lah yang akan menentukan. Jangan berhenti untuk mendokan orang-orang yang
kita sayang. Sekalipun belum di-ijabah oleh Allah, teruslah berdoa. Karena kita
tidak tau kapan doa kita akan menjadi kenyataan.
...Tamat...
Hidayah Allah selalu diberikan pada orang2 yang Ia kehendaki......
ReplyDeleteIya, Semoga hidayah Allah berikan pd orang2 yg kita syangi. Aamiin..
ReplyDeleteSip mantap..
DeleteTerimakasih :)
DeleteLumayan bagus +Wira
ReplyDeleteSemuanya bagus cuman epilognya aja yg terkesan dipercepat #keepblogging
Terimakasih mas +Satriyo .. Berikan selalu masukannya ya mas. Ingin sllu menggali ilmu :)
DeleteHidayah Allah sebenarnya sudah ada tergantung bagaimana kita melihatnya.. Keep blogging ya mas👍
ReplyDeleteIya mbak indah, betul sekali ^_^
ReplyDeleteWaduh, saya bukan mas, mbak :D
ceritanya menarik mbq, dtunggu cerita slanjtnya mbq
ReplyDelete