#theEnd Aku Ingin Bersamamu di Surga - infpage

#theEnd Aku Ingin Bersamamu di Surga

“Rana, mama minta maaf ya. Mama salah. Mama sudah sangat berdosa. Mama kotor, nak.” Ucapan itu diiringi dengan tangisnya yang membuncah. Tak biasanya ia berbicara dengan kucuran air mata. Mama yang biasanya adalah mama yang berbicara kasar ketika aku bertanya.

“Ma, mama kok ngomongnya gitu. Bagi aku mama tetap mama aku, dan Adibah. Mama jangan ngomong gitu lagi ya.” Jawabku menyembunyikan pedih.

“Kamu nggak tau apa-apa, sayang. Kamu nggak tau apa yang selama ini mama lakukan.” Lirihnya.

            Mendengar kata-kata terakhir yang dilontarkannya, aku merasa merinding. Aku jadi teringat dengan hal-hal yang membuatku bertanya-tanya selama ini. Aku pernah melihat puntung rokok di bawah tempat tidur mama ketika aku membersihkan kamarnya. Aku yang telah mendapat izin untuk membersihkan kamarnya dibuat kaget dengan puntung rokok itu. Pada saat itu, aku hanya berfikir positif dengan apa yang aku temukan. Aku tak ingin mengambil pusing. Itu kan hanya puntung rokok, mungkin sisa-sisa puntung rokok papaku dulu sewaktu masih rajin menghisap barang tak menyehatkan itu. Karena sudah lama sekali kamar ini tidak dibersihkan.

            Mama juga sering pulang larut malam. Bahkan sampai pukul 2 mama berani pulang ke rumah. Bayangkan saja, wanita dengan jam-jam rawan seperti itu berkeliaran di luar rumah. Aku sebagai anaknya sangat khawatir dan curiga padanya. Ketika pulang, aku sudah biasa mencium aroma minuman. Aku tak bisa bertanya, karena belum apa-apa aku sudah kena sembur, dimarahin.

            Kecurigaanku tak sampai disitu. Aku teringat dengan lelaki yang bersama mama yang aku lihat ketika pulang dari kampus. Awalnya aku mengira bahwa mataku telah ceroboh melihat seorang yang aku fikirkan. Namun, Allah membuka lebar-lebar kembali mataku. Benar, dia mamaku. Bersama lelaki yang tak kukenal. Ketika aku melihat itu, aku berusaha meyakinkan hatiku bahwa itu hanya teman mama. Ya, teman. Tidak lebih dari seorang teman.

            “Rana...” Suara itu kembali terdengar.

            “Iya, Ma. Ada apa? Ada yang terasa sakit, Ma?” Jawabku.

            Kali ini, ia benar-benar mengungkapkan kekalutannya. Wajah yang dilumuri kerisauan itu kutampik dengan senyuman.

            “Mama, ngomong aja. Rana dengerin mama ngomong ya. Mama mau bilang apa, Ma?”

            Adibah yang sedari tadi memperhatikanku dan mama kini tertidur dipangkuanku. Lirih nafasnya terdengar sangat jelas. Hal itu mengisyaratkan bahwa ia sangat lelah oleh isak tangis yang tak henti-hentinya. Kupegang dahinya, terasa panas. Pagi ini ia tidak berangkat sekolah karena demam yang ia alami. Sedikit menjalar rasanya, perasaan cemas yang kurasakan. Namun, aku harus kuat. “Aku harus menjaga keluarga ini.” bathinku.

Setelah kubaringkan Adibah di tempat tidurnya, aku kembali ke kamar mama. Dan kali ini, aku benar-benar ingin meneteskan air mata. Sebelum masuk ke kamarnya, aku menguatkan hatiku, mencoba tegar dan bertahan. Serasa ada sesuatu yang akan menimpaku. Aku berdoa semoga apa yang aku fikirkan tidaklah menjadi apa yang akan diperbincangkan mama di kamar nanti. Sekilas aku ingat kembali hal-hal yang membuatku curiga. Namun, hal itu segera kutampik dengan mengingat wajah mama yang sayu.

“Ma, Adibah udah aku tidurkan di kamarnya. Dia demam, Ma. Tadi udah aku kompres. Mama jangan khawatir ya.” Jelasku.

Mama terlihat sangat gelisah, tangannya gemetaran dan matanya sayu. Ia mencoba duduk, namun tak kuasa karena ia merasakan sakit di dadanya. Kulihat nafasnya sedikit terengah. Tak lama kemudian, ia memulai kembali pembicaraan.

“Rana, mama akan ceritakan semuanya ke kamu, Nak. Mulai sekarang tidak ada lagi yang mama sembunyi-sembunyikan.” Terlihat tegar raut muka mama, namun aku tau, itu adalah ketegaran palsu.

“Iya, Ma.” Jawabku singkat.

Jantungku terasa berdebar-debar. Entah apa yang selalu membuatku seperti ini. Padahal, aku harus kuat di depan mama.

“Rana, selama ini mama menjadi wanita malam, Nak.”

Tak dapat berkata apa-apa, serasa di sambar petir di siang bolong. Kata-kata mama barusan mengoyak hatiku yang sedari tadi berharap hal itu tak keluar dari mulutnya. Ternyata benar apa yang selama ini aku khawatirkan. Kecurigaanku benar-benar menjadi kenyataan. Aku tak tahu merasakan apa. Yang jelas, semua bercampur aduk. Kesal dan marah sudah pasti ada, namun perasaan sedihku lebih menggunung. Jerit hatiku pilu. Terasa sekali menghujam ke dalam bathinku. Ya Allah.

Setelah lima menit kami terdiam, aku mulai bersuara. “Sejak kapan mama seperti ini?”

Mama yang seakan telah menceritakan semuanya kembali berbicara padaku. Dengan isak tangis ia mengatakan bahwa ia melakukan semua ini untuk memenuhi kebutuhan kita.

“Karena papamu sudah nggak ada lagi, mama bingung mau cari uang ke mana. Hutang mama dimana-mana. Setelah seminggu papamu meninggal, mama selalu mengurung diri di kamar, kan? Mama bingung, Rana. Mama nggak tau lagi harus bagaimana.” Semakin deras air mata itu mengalir.

Mama melakukan itu dengan terpaksa. Ia mendapat tawaran itu dari temannya yang juga melakukan hal yang sama. Papa sudah meninggal empat tahun yang lalu. Ia meninggal karena penyakit jantung yang ia derita sejak kecil. Papa seorang yang baik dan suka bergaul. Wataknya keras, namun hatinya lembut. Ia mengajarkan kami menjadi anak-anak yang tegar dan kuat menghadapi permasalahan hidup. Papa pernah berkawan dengan rokok. Sehari ia bisa menghabiskan berslot-slot rokok. Sampai suatu ketika, ada sesuatu hal terjadi yang membuatnya berhenti permanen menggunakan barang itu. Ya, ketika Adibah mengalami sesak nafas parah dan di bawa ke rumah sakit, lalu didiagnosa dokter bahwa rokoklah yang menjadi penyebab penyakit Adibah. Betapa tidak, pagi siang dan malam si kecil itu harus menghirup udara yang tidak sehat. Udara yang penuh dengan toxin mematikan. Semenjak itu, papa sangat merasa bersalah. Karena sayangnya pada Adibah, papa benar-benar berhenti merokok.

“Berarti mama sudah seperti ini sejak 4 tahun lalu, Ma? Kenapa mama nggak bilang ke aku, Ma? Mama kan bisa cerita sama aku. Biar kita selesaikan sama-sama, Ma. Nggak harus kayak gini. Mama tau gimana hatiku sekarang, Ma? Mama tau kan, Ma?” Air mataku tak bisa kubendung lagi. Tanpa terasa ia keluar dengan derasnya.

Tangis kami semakin membuncah seisi kamar. Mama memelukku erat dengan isak tangis yang melebur. Menggambarkan bahwa ia benar-benar merasa bersalah.

“Maafkan mama, Rana. Maafkan mama. Maafkan mama yang selama ini kasar sama kamu. Mama tau mama salah. Maafkan mama, Nak.” Suara maaf itu kembali terdengar.

Aku hanya bisa menangis dan mengurai air mata. Aku menangis meluapkan isi hatiku. Selama ini aku menangis sendiri, di kamar. Tanpa ada seorangpun yang tau. Kini, mama memelukku. Pelukan yang sangat aku rindui. Dipelukkannya aku menangis, dan terus menangis. Tak kukeluarkan sepatah katapun. Karena tangis ini sudah mewakili perasaanku. Pedih!

Dua jam berlalu. Jam dindingpun telah menunjukkan waktu Maghrib. Aku dan Adibah sudah siap dan akan melaksanakan shalat Maghrib. Tak kusangka, mama keluar dari kamarnya menggunakan mukenah yang selama ini terletak di atas meja. Mukenah yang tak terjamah lagi. Tak pernah dipakainya, tak pernah mekelat pada tubuhnya. Namun, kali ini ia nampak anggun dengan balutan mukenah itu. Tak terasa sebulir bening air mataku menetes. Mengucap syukur dalam hati.

“Mama jadi imam ya.” Adibah bersuara yang kemudian dibalas senyum oleh mama.
            Shalat Maghrib kali ini terasa sangat indah. Sudah empat tahun aku tak merasakan lagi suasana seperti ini. Suasana yang sangat aku rindukan. Berkumpul bersama mama. Mamaku yang kini telah berubah. Tak lama, lamunanku dikejutkan oleh Adibah.

            “Kakak, kakak....”

        “Rana, terimakasih ya kamu sudah membuat mama berubah. Allah sudah memberikan lagi cahaya itu pada mama melalui kamu” Ujarnya.

            “Kenapa Rana, Ma?” Tanyaku bingung.
Sumber Gambar: Koleksi Pribadi

            “Malam itu, mama lihat kamu di kamar, Nak. Kamu terlihat sangat merintih pedih. Terdengar doamu yang sangat menyayat hati mama, membuat mama sadar bahwa jalan yang mama ambil selama ini salah. Mama malu pada diri mama sendiri.” Jelasnya dengan linangan air mata yang kembali menyulut.

            “Mama, udah. Jangan nangis lagi ya, Ma. Aku ngelakuin ini karena aku sayang sama mama. Bagaimanapun kelakuan mama, mama tetaplah mama aku. Aku nggak mau kehilangan surgaku, Ma. Surgaku ada di bawah telapak kaki mama. Aku pengen bersama mama di surga.” Dengan berkaca-kaca kuungkapkan itu. Tanpa terasa aku dan Adibah tertidur di pangkuannya. Kini mamaku kembali, kembali ke jalan itu. Jalan yang selama ini aku tempuh.

            Begitulah manusia, hati dapat terbolak-balik. Hidayah dapat masuk dalam relung hati insan yang Ia kehendaki. Ringkihnya hati manusia seharusnya dibaluri selalu dengan keistiqomahan telaga air mata yang penuh dengan penyesalan, akan dosa-dosa yang selama ini dilakukan. Manusia hanya harus ikhtiar dan berdoa. Karena garis takdir ada di tangan-Nya, Allah-lah yang akan menentukan. Jangan berhenti untuk mendokan orang-orang yang kita sayang. Sekalipun belum di-ijabah oleh Allah, teruslah berdoa. Karena kita tidak tau kapan doa kita akan menjadi kenyataan.

                                                                       ...Tamat...



            

9 comments:

  1. Hidayah Allah selalu diberikan pada orang2 yang Ia kehendaki......

    ReplyDelete
  2. Iya, Semoga hidayah Allah berikan pd orang2 yg kita syangi. Aamiin..

    ReplyDelete
  3. Lumayan bagus +Wira
    Semuanya bagus cuman epilognya aja yg terkesan dipercepat #keepblogging

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih mas +Satriyo .. Berikan selalu masukannya ya mas. Ingin sllu menggali ilmu :)

      Delete
  4. Hidayah Allah sebenarnya sudah ada tergantung bagaimana kita melihatnya.. Keep blogging ya mas👍

    ReplyDelete
  5. Iya mbak indah, betul sekali ^_^
    Waduh, saya bukan mas, mbak :D

    ReplyDelete
  6. ceritanya menarik mbq, dtunggu cerita slanjtnya mbq

    ReplyDelete

Bila ada komentar, kritik atau saran silakan ditulis disini ya. Terimakasih.

Wira Puspa Nuansa

#nursahab